Sudah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa pendidikan yang humanis memberikan kebebasan yang luas untuk berpikir kritis, dan semakin banyak menghasilkan pemikiran yang konstruktif, serta banyak melontarkan kritik, maka kelompok yang dominan akan semakin memperketat penjagaan terhadap keamanan dirinya. Keadaan seperti ini selalu melahirkan kelompok anti kritik dan totaliter karena dirinya tak tahan mendapat kritikan. Mereka biasanya akan memberangus semua orang yang bersikap kritis. Semuanya akan diberangus tanpa kecuali, karena setiap perkecualian akan menjadi kemungkinan berubah jadi ancaman bagi sbuah struktur sosial yang sudah terbangun rapi.
Realita semacam ini menjadikan sekolah memainkan peran yang sangat vital sebagai alat kontrol sosial yang efisien untuk menjaga status quo. Maka akan sangat mudah menemukan guru yang berpandangan bahwa pendidikan adalah proses adaptasi siswa dengan lingkungannya, dan sudah semstinya pendidikan formal tidak boleh bertindak di luar ini
Pendidikan semacam ini melahirkan anggapan bahwa siswa yang baik bukanlah siswa yang selalu resah atau keras kepala dan menampakkan keraguannya dengan ingin mengetahui alasan dibalik fakta, atau siswa yang berani mengkritisi birokrasi yang kurang baik dan selalu menolak dijadikan obyek pendidikan. Namun siswa yang baik adalah siswa yang penurut, mau meninggalkan cara berpikir kritis, selalu mematuhi aturan yang sudah ada, dan beranggapan bahwa menjadi penurut seperti "binatang itu baik".
Sebaliknya seorang guru yang memposisikan dirinya sebagai dewa, sering kelihatan sebagai seorang yang tidak tersentuh, baik dalam hal keilmuan atau fisik. Intinya siswa tidak boleh melakukan apapun kecuali menerima apapun yang disampaikan oleh guru secara idiolgis untuk kepentingan struktur sosial yang sudah mapan dan dianggap suci.
Tidak bisa dipungkiri bahwa seluruh proses mistifikasi ini pada akhirnya hanyalah sebagai penghalang untuk melontarkan kekritisan berpikir manusia, dan hanya melanggengkan status quo. Banyak orang membicarakan kepentngan umat mnausia, namun hanya menjadi sebuah ungkapan kosong, karena mereka tidak mengerti bahwa kenyataannya dimensi humanis manusia hanya dijadikan obyek penderita. Banyak orang mengeklaim dirinya punya komitmen dalam usaha pembebasan, akan tetapi mereka masih menganut mitos yang menentang tindakan humanis. Banyak dosen yang melakukan analisis bagaimana sampai terjadi pendindasan sosial namun mereka justru menahan mahaiswa dengan cara-cara represif, gonta-ganti kurikulum, dan memperbanyak tugas akademik.
Banyak yang mengaku sebagai kaum revolusioner, tetapi mereka tidak mempercayai kaum tertindas yang pura-pura mereka bela, seolah-olah semua ini bukan kontradiksi yang salah.Banyak orang menginginkan pendidikan yang humanis tetapi mereka masih mempertahankan struktur sosial yang dehumanis. Secara singkat merka takut jika proses pembebasan itu terjadi, dan dengan ketakutan itu mereka menjalin persudaraan dan persekongkolan untuk mencabut kebebasan orang.
Penulis adalah mantan aktivis mahasiswa
Tulisan diambil dari buku karya Paulo Freire yang berjudul Politik Pendidikan
0 Komentar